Keinginan Sederhana Pohon Mangga

Sudah lama sekali angin tidak datang dengan membabi buta. Ia meliukkan setiap tangkai dan daun. Tak jarang mangga yang masih belum masak pun berjatuhan, apalagi yang sudah masak. Meskipun batang dan tangkainya meliuk-liuk yang diakibatkan oleh angin, namun akarnya tetap kokoh menopang segala sesuatu di atas sana.

“Oi angin, kenapa hari ini kau begitu kasar?” Pohon mangga lama-lama tampak kesal dengan perlakuan angin yang ribut selama lima belas menit itu.

“Maafkan aku, tapi cuaca hari ini memaksaku untuk datang ke daerah ini” Angin hanya menjalankan tugasnya dengan tiupan yang membabi buta. Pohon mangga hanya mendesis sebal. Apa-apan tiupannya itu, kelakuannya membuat buahnya berjatuhan.

 “Tahukah angin, aku sungguh sebal kau datang dengan tiupan bodohmu itu. Kau membuat buahku berjatuhan.”

Angin mengerutkan alisnya, “bukannya memang seharusnya begitu? Itu sudah hukum alam kan, yang sudah masak ya harusnya sudah berjatuhan.”

Kali ini tiupan dari angin sedikit mereda. Pohon magga tersebut menarik napas perlahan, ia seperti menyimpan sesuatu yang berat, “masalahnya pemilik rumah ini tidak mau memakan buah dariku.”

Angin penasaran dengan pernyataan yang disebutkan pohon mangga tersebut, dan akhirnya ia bertanya, “Kenapa tidak mau memakan buah darimu? Apa kau melakukan kesalahan? Ah, jangan-jangan karena rasamu yang tidak manis? Kudengar manusia tidak menyukai rasa mangga yang asam.”

“Rasaku manis. Entahlah, aku hanya rindu pemilik rumah yang sebelumnya. Pemilik rumah sebelumnya selalu megambil buahku yang sudah masak, terkadang jika tidak musim hujan, membuat ayunan pada batangku. Aku merindukan mereka.”

Angin bisa melihat rasa putus asa pada diri pohon mangga. Angin selalu paham, bahwa pohon yang bisa berbuah, memiliki keistimewaan sendiri, selain bisa untuk meneduhkan, pohon yang berbuah pun bisa menghasilkan buah yang bisa dimakan oleh pemiliknya.

“Jangan terlalu sensitif seperti itu, pohon mangga. Walaupun buahmu tidak pernah dipetik oleh pemilik rumah ini. Tapi dengan kehadiranmu, rumah ini jadi teduh. Kau masih sangat berarti bagi mereka.”

Pohon mangga memikirkan ucapan angin barusan. Ia hanya sedikit kecewa atas pemilik rumah yang baru ini. Tapi yang angin katakan pun tidak ada salahnya, walaupun pemilik rumah yang baru ini berbeda dengan pemilik rumah sebelumnya, tapi ia masih bisa memberikan keteduhan. Tiupan angin kali ini mulai sepoi-sepoi, walaupun keadaan di atas sana masih mendung.

Pada saat itu, ketika hujan tidak jadi mengguyurkan air di daerah tersebut, pemilik rumah itu membuka pintu dari dalam. Lalu ia melihat sekitar, betapa kotornya halaman rumah tersebut akibat tiupan angin membabi buta tadi yang telah menggugurkan daun mangga dan menjatuhkan buahnya – baik yang masak ataupun tidak, pemilik itu mengambil mangga masak yang berjatuhan.

“Akhirnya ada yang jatuh juga mangganya. Kali ini masih ada yang mulus. Biasanya kalau tidak dimakan kelelawar, ya mangganya yang hancur karena membentur tanah.” Ujar pemilik rumah tersebut sambil mengambil sebagian buah mangga yang masih mulus terjatuh dari dahan pohonnya. Pohon mangga yang mendengar itu kaget, jadi selama ini bukan karena tidak suka buahnya, melainkan menunggu yang jatuh dari pohonnya.

“Apa sebaiknya aku menyuruh pak satpam untuk mengambil buah yang masaknya ya, rasanya susah kalau aku harus memanjat.” Sambung pemilik rumah tersebut, pemilik rumah itu panen banyak.

Kali ini pohon mangga mulai mengerti, pemilik rumah baru ini bukan tidak menyukai mangga, melainkan ia tidak bisa memanjat pohon mangga dan ketika buahnya yang sudah masak jatuh, terkadang hancur dan dimakan kelelawar. Rasanya aku harus berterima kasih pada angin, itulah yang dipikirkan pohon mangga saat itu.

“Angin, terima kasih kau telah datang hari ini. Sekarang aku mengerti kenapa pemilik rumah yang baru ini tidak memakan buahku.”

Angin hanya meniupkan angin sepoi, ia tersenyum atas kejadian hari ini di daerah kawannya itu. Tak perlu lama, ia pun pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada kawannya itu.

Ulasan Buku – Bumi Manusia

bm

Judul Buku : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara

Bumi manusia adalah karya roman pertama dari tetralogi Pram, awalnya saya penasaran, dan ternyata roman tersebut berlatar akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh, dimana nama Indonesia masih belum terbentuk – masih bernama Hindia Belanda.

Berawal dari Minke, seorang anak pribumi yang mengenyam pendidikan di H.B.S keturunan ningrat yang selalu mendewakan Eropa, bahwa Eropa lebih baik daripada negerinya sendiri. Lebih mengagungkan bahasa Nederland daripada Bahasa Melayu ataupun Jawa (karena Minke yang tinggal di Jawa), namun terkadang Minke sakit hati bila Hindia Belanda dilecehkan.

Continue Reading

Perempuan Itu…

Suatu pagi dengan keadaan langit yang cerah seseorang yang telah menikah menasehatiku. Tidak seperti biasanya kami berbicara dengan hati. Barangkali seperti inilah cara menyampaikan perasaan dialog seorang introvert kali ya 😀 dan bukan suatu kebetulan, memang keduanya seorang introvert.

Nasehat itu meskipun hanya sedikit namun begitu ngena. Ya, nasehat untuk seorang perempuan yang kelak mempunyai tahta tertinggi menjadi seorang istri dan seorang  Continue Reading

Terdampar

Hooo…. apa kabar dengn blog ini? Rasanya sudah lama nian tak pernah menulis di sini, tergeletak begitu saja. Hemm…. semoga bisa konsisten dengan menulisnya ya. Hehe…. lama tak berkunjung ke akun wordpress ini. Jarang nulis, jarang publish juga heuheu…. Yosh…. untuk menyemangati diri sendiri, ayoooooo semangaaaatt dong….